Sang singa podium, penulis, sufi dan ujung tombak perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

“Kyai Rifa’i Kalisasak, Sang Sufi Ujung Tombak” “Persepsi negatif terhadap K.H. Ahmad Rifa’i dan jamaahnya dapat ditemukan dalam Serat Cebolek karya Raden Panji Jayasubrata. Dalam Serat Cebolek dikisahkan dua tokoh ulama non-pemerintah yang dianggap mengajarkan ajaran sesat yaitu Syaikh Ahmad Mutamakin dari desa Cebolek-Tuban dan K.H. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak. Syaikh Mutamakin dituduh mengajarkan mistik sesat yaitu ilmu kasunyatan dan dituduh menganjurkan orang untuk meninggalkan syari’at dan bisa mengganggu ketertiban umum. Dalam Serat Cebolek, dipersepsikan bahwa Syekh Mutamakin menjadi tersangka dan Ketib Anom dari Kudus menjadi pahlawan. Syekh Mutamakin selamat dari hukuman karena adanya suksesi kekuasaan dari Amangkurat IV kepada Paku Buwono II. Keadaan berbeda dialami K.H.Ahmad Rifa’i yang dituduh mengajarkan ajaran sesat, menyatakan dirinya sebagai satu-satunya ’alim adil, dan tidak mengesahkan shalat jum’at di masjid lain selain masjidnya. K.H. Ahmad Rifa’i disuruh berdebat dengan Haji Pinang Penghulu Batang, meskipun awalnya menang tetapi pada akhirnya ia harus menerima kekalahan dan dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat pada1286 H/1878 M dalam usia 92 tahun.” [Kuntowijoyo, Sejarawan Indonesia] Kyai Rifa’i Kalisasak terlahir di Desa Tempuran Kendal. Tentang tahun kelahiran, ada yang mengatakan beliau lahir tahun 1786 M dan wafat tahun 1875 M, dan ada yang mengatakan beliau lahir tahun 1785 M dan wafat pada tahun 1869 M. Ayahandanya, Muhammad Syuja’ alias Sucawijaya adalah seorang Penghulu Landraad Hindia Belanda di Kendal pada tahun 1794 M. Ayahnya meninggal saat Kyai Rifa’i berumur 6 tahun. Selanjutnya, Kyai Rifai diasuh oleh kakak iparnya, KH Asy’ari seorang pengasuh pondok pesantren di daerah Kaliwungu Kendal. Sejak kecil, Kyai Rifai sudah digembleng agar disiplin belajar dan mengamalkan ajaran agama. Beliau sering berkumpul di masjid, berjamaah, berdzikir dan mengikuti pengajian-pengajian di bawah asuhan kakak iparnya. Tatkala dewasa, Kyai Rifai sering mengadakan dakwah keliling ke daerah-daerah sekitar Kendal. Beliau melakukan dakwah ini, karena kondisi masyarakat muslim Jawa sudah menyimpang dari ajaran agamanya, khususnya karena banyak dari mereka yang terkontaminasi budaya barat. Kyai Rifai terkenal sangat anti terhadap pemerintahan kolonial Belanda, dan segala yang terkait dengannya. Dalam dakwahnya, Kyai Rifai sering menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada penjajah yang bertindak semena-mena kepada rakyat jelata. Beliau selalu melancarkan kritik pedas, dan kata-katanya laksana ujung tombak yang selalu meluncur deras mengarah ke jantung pemerintah kolonial Belanda. Pada saat berusia 30 tahun, Kyai Rifai pergi berhaji ke tanah suci. Beliau sempat bermukim di sana 8 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Saat di Mekkah, Kyai Rifai sempat berguru kepada beberapa ulama besar di zamannya, antara lain: (1) Syekh Utsman (2) Syekh Al-Faqih Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jaysyi. Saat di Mekkah, Kyai Rifai berteman akrab dengan beberapa ulama besar Nusantara, antara lain: (1) Syekh Nawawi Al-Bantani (2) Syekh Kholil Al-Bankalani. Setelah itu, beliau merantau ke Mesir selama 12 tahun. Di Mesir, Kyai Rifai berguru kepada beberapa ulama besar Mesir, antara lain: (1) Syekh Al-Barawi (2) Syekh Ibrahim Al-Bajuri Penulis Syarah Fathul Qarib “Al-Bajuri”. Setelah merantau ke Mekkah dan Mesir, Kyai Rifai pulang ke Kaliwungu saat beliau berusia 50 tahun. Beliau mulai mengajar di pesantren milik kakak iparnya, Kyai Asy’ari. Di pesantren ini pula, beliau mulai mencurahkan untuk menulis berbagai kitab. Selain dikenal sebagai seorang ulama yang sangat alim, rajin menulis, Kyai Rifai juga dikenal sebagai singa podium, karena cara dakwahnya yang sangat kritis dan berani terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karena merasa terancam dengan keberadaan Kyai Rifai, Belanda pun mengasingkan Kyai Rifai ke hutan belantara di daerah Kalisasak Batang (Daerah ini sekarang termasuk Kecamatan Limpung Kabupaten Batang Jawa Tengah). Di sini lah, Kyai Rifai mendirikan sebuah pondok pesantren dan madrasah Al-Quran pada tahun 1821 M. Ketika Residen Pekalongan menginterogasi Kyai Rifai karena mendirikan pesantren, beliau menjawab: “Saya ingin menyempurnakan pengajaran al-Quran (karena waktu itu, menurut Kyai Rifai, pengajaran Al-Quran masih banyak kesalahan dan kekurangan). Lambat laun, pesantren ini menjadi pondok pesantren besar. Santri beliau datang dari berbagai penjuru Nusantara. Di Kalisasak, Kyai Rifai semakin giat menulis. Beliau termasuk ulama langka di zamannya yang mampu menguraikan ajaran Islam dengan bahasa Jawa (Arab Pegon). Melihat pengaruh Kyai Rifai yang sangat besar di masyarakat, Belanda mengasingkan beliau ke tempat yang lebih jauh, yaitu Ambon. Sayangnya, usaha Belanda untuk memupus perjuangan Kyai Rifai berakhir nihil. Kyai Rifai bagaikan tombak, yang jika diasah Belanda melalui pengasingan-pengasingan, maka ia akan semakin tajam. Di Ambon, beliau semakin aktif mengobarkan perjuangan untuk melawan Belanda. Selain berdakwah di podium-podium, beliau juga dakwah melalui tulisan. Selama di pengasingan, beliau masih sempat menuliskan ajaran-ajarannya untuk dikirim kepada murid-muridnya yang berada di Kalisasak Batang. Tercatat, selama berada di pengasingan sampai meninggal pada tahun 1875, Kyai Rifai melahirkan empat karya, yaitu: Taghrib al-Muhallah, Kaifiyyat al-Maqshad, Hidayah al-Himmah, dan Nashihah al-Haqq. Keempat kitab tersebut ditulis menggunakan aksara pegon. Sedangkan karya-karya Kyai Rifai yang ditulis sebelum diasingkan ke Ambon antara lain: At-Taisir, Inayah, Husnul Mathalib, Absyar, Hasaniyyah, At-Tabyin al-Ishlahi, Kayfiyyah, Al-Mishbah, Tasyrihah al-Muhtaj, Bastiyyah, Tadhiyyah, Fatawiyyah, Samchiyyah, Muslihah dan puluhan kitab lain. Selain terkenal sebagai seorang singa podium, penulis, dan ujung tombak perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, Kyai Rifai juga terkenal sebagai seorang sufi. Pandangan-pandangan beliau tentang ilmu tasawuf antara lain: 1. “Syariat thariqat haqiqat telune, kaya kelapa ginawa umpamane. Syari’at iku sekehe kekulitan, thariqat iku isi kang njerone, lan lenga kelapa iku hakikat.” (Syariat, thariqat dan hakikat, ketiganya merupakan satu kesatuan. Ketiganya laksana buah kelapa. Syari’at adalah kulitnya, thariqat adalah isinya, sedangkan haqiqat adalah minyaknya). 2. “Utawi ilmu tasawwuf pertelane, ngaweruhi ing setengah kelakuane, sifat pinuji lan cinela ning atine, supaya bener ati maring Allah nejane.” (Yang dinamakan ilmu Tasawuf adalah ilmu yang membahas tingkah laku manusia baik amalan yang terpuji maupun yang tercela agar hati manusia menjadi benar dan lurus dalam menuju Allah). Di antara murid-murid Kyai Rifai adalah: K.H. Abdul Qohar (Kendal), K.H. Muhammad Tubo, Kyai Abu Ilham (Batang), Kyai Maufuro(Limpung), Kyai Hasan Dimejo (Wonosobo), Kyai Abdus Saman (Kendal), Kyai Abdullah/Dolak (Magelang), Kyai Abdul Ghani Wonosobo, Kyai Muhammad Toyyib (Wonosobo), Kyai Ahmad Hasan (Pekalongan), Kyai Nawawi (Batang), dan sebagainya. Murid-muridnya inilah yang menyebarkan ajaran Kyai Rifai ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya. Kepada Kyai Ahmad Rifai Kalisasak, Sang Sufi Ujung Tombak, al-Fatihah.... #GerakanIslamCinta #TerajuIndonesia [FP: Teraju Indonesia, Twitter: @TerajuIndonesia] bahan bacaan: Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia Zainuddin, Pemikiran Tasawuf KH Ahmad Rifai Kalisasak Intelektualisme Pesantren.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal BARANUSA

Murid-murid KH Ahmad Rifa'i Generasi Pertama.

Nasab dan keturunan syekh Hasan Busyro